Alhamdulillah, ikhwah, dakwah
kita saat ini sedang berada dalam kondisi transisi, transisi dari satu
tahapan satu ke tahapan yang lain. Transisi dari mihwar muassasi ke
mihwar dauli. Maka untuk menuju mihwar yang lebih luas tersebut, dimana
tantangan yang kita hadapi akan semakin kompleks, dibutuhkan profil –
profil seorang negarawan sejati. Ketika kita mengingkan mihwar daulah,
maka mental kita harus dirubah, menjadi memiliki mental daulah, seorang rijaluddaulah.
Ikhwah, ada satu kisah menarik yang ingin saya sampaikan kepada antum
semua, yaitu tentang energi cinta dalam dakwah ini. Energi cinta kita
dalam dakwah inilah yang membuat kita sampai saat ini masih tetap
istiqomah untuk terus membersamai dakwah. Energi cinta itulah yang
menjadi daya penguat kita sehingga kita bisa tetap eksis berada dalam
kereta dakwah ini, meskipun terpaan angin, rintangan, halangan itu terus
saja menghalangi kita, tetapi hal itu justru membuat kita makin kuat
saja dalam dakwah ini, dan hal itu karena satu hal. Kita begitu
mencintai dakwah ini.
Saya ingin mengilustrasikan tentang seni menikmati dan mencintai dakwah
itu dari perenungan saya sepanjang perjalan dari Jogja-Semarang,
beberapa waktu lalu. Kondisi jalanan di sekitaran Ambarawa padat
merayap, dengan truk-truk besar yang berjalan lambat itu, kadang membuat
kita jenuh juga.
Akan tetapi, setelah saya merenung, ternyata ini adalah bentuk jihad
kita untuk senantiasa bersabar atas segala sesuatu yang kita alami.
Begitu pun ketika mobil yang saya tumpangi tersebut berhasil menyalip
truk besar tersebut, ada kelegaan sedikit, tetapi setelah berhasil
menyalip, akan ada truk-truk besar lagi yang berada didepan kita. terus seperti itu.
Energi yang tiada terputus
Kalau kita umpamakan perjalanan Jogja-Semarang tersebut adalah tentang
dakwah ini, kita pun akan mengambil satu kesimpulan bahwa, setelah kita
menyelesaikan suatu urusan, kita harus siap dengan urusan selanjutnya.
Atau bisa kita analogikan, setelah kita berhasil menaklukkan satu badai,
akan muncul badai-badai selanjutnya yang lebih kuat, lebih besar, dan
menuntut daya dan ketegaran kita dalam menaklukkan badai tersebut.
Ikhwah, begitulah dakwah kita saat ini. Di masa-masa dakwah yang terus
bersemi dan berkembang menuju puncaknya, justru badai – badai akan
semakin kuat dan besar menghalangi laju kereta dakwah kita. maka butuh
satu kekuatan, maka butuh energi yang tiada terputus untuk menguatkan
kita dalam membersamai dakwah ini. Maka energi yang tiada terputus itu
adalah rasa cinta kita pada dakwah ini. Cinta kita pada dakwah inilah
yang akhirnya membuat energi kita selalu besar, selalu ada, dan terus
ada untuk memperjuangkan dakwah kita.
Seni mencintai dakwah
Ikhwah, ada satu peristiwa yang mungkin ini adalah bagian yang semakin
menguatkan tekad saya untuk terus istiqomah dan mencintai dakwah ini.
Satu peristiwa tersebut adalah ketika saya diamanahi menjadi Ketua Wilda
Sulawesi, suatu ketika menyaksikan betapa ikhwah yang berada di daerah
dengan kondisi yang minimalis, baik kadernya maupun infrastuktur
dakwahnya, ternyata hal tersebut tak menghalangi niatnya untuk
berdakwah. Mereka begitu tulus bekerja dan mendakwahkan Islam di
daerahnya. Mereka tak terlalu peduli urusan di pusat, karena yang mereka
pikirkan adalah mengelola daerahnya masing – masing, mampu memberikan
efek dakwah Islam kepada obyek dakwah di daerahnya.
Dahsyat, inilah yang saya maksud dengan seni mencintai dakwah itu.
Mereka mencintai dakwah ini sehingga dari sikap yang begitu mencintai
dakwah, maka Allah Azza Wa Jalla anugerahkan energi yang tiada terputus
itu, meskipun mungkin fisik terbatas, sarana terbatas, akan tetapi
ketika energi cinta yang tiada terputus kepada dakwah ini terus membara,
maka hal tersebut sudah cukup untuk memenangkan dakwah ini.
Maka ikhwah, mari kita mencintai dakwah ini, dimanapun, kapanpun,
bersama siapapun kita berada. Insyaallah energi kita tidak akan pernah
habis dan terputus. Semoga istiqomah.
Wallahua’lam.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !